Thursday, January 24, 2013

Makna dan Hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW

Tanggal 12 Rabiul Awal yang bertepatan pada hari ini 24 Januari diperingati sebagai hari maulid-nabi. Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah az-Zahrah, putri Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu. Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah sebagai bentuk upaya untuk mengenal akan keteladanan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa Nabi Muhammad SAW adalah pemimipn besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.

Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani (Civil Society) yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Nabi Muhammad SAW dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.

Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Nabi Muhammad SAW dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Tuhan di dunia yang bertugas membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Tuhan kepada umat manusia secara universal.

Kedua, dalam perspektif sosial-politik, Beliau dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus andal. Sosok individu Nabi Muhammad SAW yang identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang kemudian mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tentram.

Tentu, sudah saatnya bagi kita untuk mulai memahami dan memperingati Maulid secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok nabi dan rasul terakhir yang sarat dengan serangkaian ritual-ritual sakralistik-simbolik keislaman semata, namun menjadikannya sebagai kelahiran sosok pemimpin.

Karena bukan menjadi rahasia lagi bila kita sedang membutuhkan sosok pemimpin bangsa yang mampu merekonstruksikan suatu citra kepemimpinan dan masyarakat sosial yang ideal, egaliter, toleran, humanis dan nondiskriminatif, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia. Kontekstualisasi peringatan Maulid tidak lagi dipahami dari perspektif keislaman saja, melainkan harus dipahami dari berbagai perspektif yang menyangkut segala persoalan. Misal, politik, budaya, ekonomi, maupun agama.

Selain sebagai ekspresi rasa syukur atas kelahiran Rasulullah SAW., substansi dari peringatan Maulid Nabi adalah mengukuhkan komitmen loyalitas pada beliau. Setidaknya, ini terwujud dengan tiga hal.
Pertama, meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Bagi seorang mukmin, kecintaan terhadap Rasulullah SAW. adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan. Kecintaan pada utusan Allah ini harus berada di atas segalanya, melebihi kecintaan pada anak dan isteri, kecintaan terhadap harta, kedudukannya, bahkan kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Rasulullah bersabda,


Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtua dan anaknya. (HR. Bukhari).
Kedua, meneladani perilaku dan perbuatan mulia Rasulullah SAW. dalam setiap gerak kehidupan kita. Allah SWT. bersabda

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Kita tanamkan keteladanan Rasul ini dalam keseharian kita, mulai hal terkecil, hingga paling besar, mulai kehidupan duniawi, hingga urusan akhirat. Tanamkan pula keteladanan terhadap Rasul ini pada putra-putri kita, melalui kisah-kisah sebelum tidur misalnya. Sehingga mereka tidak menjadi pemuja dan pengidola figur publik berakhlak rusak yang mereka tonton melalui acara televisi.
Ketiga, melestarikan ajaran dan misi perjuangan Rasulullah, dan juga para Nabi. Sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir, Rasul meninggalkan pesan pada umat yang amat dicintainya ini. Beliau bersabda :


“Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat dengannya, yakni Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya sallallahu alaihi wa sallam” (HR. Malik).
Rasul juga mewariskan misi perjuangan kepada generasi penerus beliau, yakni para ulama’ dari masa ke masa. Mereka, para ulama’ adalah pewaris para Nabi. Rasulullah SAW. bersabda :


Sesungguhnya ulama’ adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia mengambilnya dengan bagian sempurna. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibn Hibban).

No comments:

Post a Comment